Populasi pengguna ponsel di Indonesia yang begitu besar, menjadikan SMS kampanye menjadi cara kampanye alternatif yang bisa diandalkan. Asalkan metode kampanye itu tidak dilakukan dengan cara SMS blast. Demikian dikatakan oleh pakar hukum dari Universitas Padjadjaran, Danrivanto Budhijanto.

SMS Blast adalah metode pengiriman SMS secara massal kepada pelanggan selular yang dilakukan oleh penyedia konten. “Ketika para peserta kampanye menggunakan jaringan operator untuk SMS blast, silahkan laporkan hal itu ke panitia pengawas pemilu,” kata Danrivanto Budhijanto kepada VIVAnews, Rabu 5 November 2008.

Danrivanto menguraikan, hal tersebut sudah diatur dalam rancangan aturan Kampanye Pemilihan Umum Melalui Sarana Dan Prasarana Telekomunikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Postel.

“Asumsi saya aturan tersebut tidak hanya berlaku untuk peserta kampanye, tetapi juga untuk pemilik konten SMS yang melakukan spamming (menyebarkan pesan iklan secara massal). Karena banyak sekali konsumen yang mengeluh kepada operator telekomunikasi telah menerima SMS yang tidak mereka kehendaki, seperti SMS yang sifatnya advertorial dan sejenisnya,” ucapnya.

Oleh sebab itu, menurut Danrivanto, antara operator dan penyelenggara konten harusnya ada perjanjian kerja sama untuk menghindari keluhan konsumen terkait layanan konten SMS. Bahkan, kata Bhudijanto, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sudah mengeluarkan surat edaran terkait pengaturan hal tersebut.

“Operator sudah tahu, tapi mungkin mereka masih ‘malu-malu’. Padahal, mereka bisa dituntut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” terang Danrivanto.

Tapi, terkait SMS Anti-Narkoba yang dikirimkan Presiden RI SBY pada 28 Oktober lalu, Danrivanto mengatakan, hal itu bukan masalah. “Itu kelihaian campaign organizer-nya Pak SBY. Saya kira beliau bukan cari simpati rakyat. Lagipula, dalam konteks ini kedudukan presiden memiliki kedudukan yang berbeda,” kilahnya.

VIVAnews